Bicaraindonesia.id, Jakarta – Fenomena Citayam Fashion Week menjadi perhatian dan perbincangan hangat di Indonesia. Sebuah fenomena anak-anak remaja dan pemuda yang memanfaatkan Zebra Cross jalan di kawasan SCBD (Sudirman Center Business District) Jakarta untuk mengekspresikan diri melalui peragaan busana.
Para remaja yang mayoritas berasal dari daerah penyangga Jakarta, seperti Depok, Citayam, Bojong Gede, dan Bogor memakai berbagai model dan jenis pakaian dan aksesorisnya.
Sebagian menilai, fenomena sosial ini adalah sebuah ‘perlawanan’ orang-orang yang terpinggirkan untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Catwalk yang biasanya didominasi oleh kalangan berduit dengan pakaian branded, kini bisa dilakukan oleh orang-orang biasa dengan selera dan media masing-masing.
Namun di balik itu, ternyata terselip fenomena yang memprihatinkan. Dan jika tidak diantisipasi, akan memunculkan hal-hal negatif bagi moral anak bangsa. Komunitas tersebut tidak memiliki panutan dari sisi moralitas. Di antaranya, terlihat dari hasil eksperimen sosial yang dilakukan beberapa orang kepada anak-anak muda yang berada di lokasi tersebut.
Di antaranya adalah saat beberapa anak muda yang dicoba untuk melafalkan niat salat, tidak tahu dan tak bisa melafalkannya. Ada juga ditanya apakah mereka salat saat waktunya tiba, ternyata mereka tidak salat dan tidak tahu tempat salat di kawasan tersebut.
“Anak-anak sekarang concern di fashion, concern di trend, tapi justru yang paling mendasar dia tidak hiraukan,” kata Pengasuh Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, KH Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) sebagaimana dikutip melalui laman resmi nu.or.id, Rabu (28/7/2022).
Keprihatinan lain juga terlihat dari sisi karakter dan moralitas para remaja saat ini yang tidak melihat sisi fitrah manusia dan jati diri bangsa yang memiliki budaya sendiri.
Dalam fenomena tersebut, para remaja mengenakan pakaian yang tidak mencirikan budaya bangsa yang luhur. Namun lebih menjadikan budaya bangsa lain sebagai kiblatnya.
Lebih memprihatinkan lagi, menurut Gus Yusuf adalah fenomena laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki.
“Ini kalau dibiarkan akan menyalahi kodrat. Dibiarkan, dianggap nanti hal yang lumrah. Padahal itu larangan agama. Laki-laki menyerupai perempuan, baik dari sisi pakaian, dari sisi gaya bicara, dari sisi lenggak-lenggok cara berjalan. Itu dilarang keras, haram,” tegasnya.
“Begitu pula perempuan menyerupai laki-laki, itu menyalahi kodratnya Allah,” imbuhnya.
Oleh karenanya, ia mengingatkan bahwa fenomena ini jangan sampai membuat generasi muda kebablasan. Diperbolehkan mengekspresikan diri namun tetap memiliki batasan-batasan dan norma yang telah digariskan oleh agama dan juga harus diselaraskan dengan adat dan budaya bangsa Indonesia.
Terkait fenomena ini juga, Gus Yusuf mengingatkan, bahwa pesantren menjadi tempat yang paling aman bagi para generasi muda. Para santri tidak akan mudah terbawa oleh tren karena dalam pesantren, pergaulan mereka akan terjaga dengan ketentuan yang sesuai dengan norma agama dan sosial.
Dalam pesantren, generasi muda dibekali dengan pengetahuan dan pendidikan karekter yang akan menjadi modal mereka dalam menghadapi perubahan zaman. Santri akan menjadi sosok yang kuat dari sisi mental dan juga kuat dari sisi pengetahuan agama sehingga akan mampu menjaga peradaban yang mulia.
Source: NU Online
Editorial: C1