Bicaraindonesia.id – Meskipun mengalami pertumbuhan nilai ekspor yang tipis, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Tercatat, komoditi nonminyak dan gas (migas) menjadi penyumbang teratas ekspor Jatim.
Dalam total ekspor selama Agustus 2019, nonmigas (minyak dan gas) menyumbang sebesar 94,21 persen. Sedangkan negara yang menjadi sasaran terbesar ekspor Jatim adalah Jepang, yang kemudian disusul Amerika, Tiongkok dan Singapura di posisi berikutnya.
Kepala Bidang Perdagangan Internasional, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jatim, Desak Nyoman Siksiawati mengatakan, saat ini Jatim masih berada pada skala pertumbuhan nilai ekspor yang tergolong biasa-biasa saja.
Hal ini dibuktikan dari persentase Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang siap dijalankan masih berkisar di bawah satu persen. Angka itulah yang kemudian menjadi pusat perhatian bersama dalam menentukan visi kerja ke depan.
“Hal ini perlu dioptimalkan lagi melalui program percepatan ekspor serta karya-karya bersama masyarakat dan perguruan tinggi,” kata Desak saat memberikan kuliah umum kepada mahasiswa Manajemen Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Kamis (24/10/19).
Menurutnya, salah satu penyebab kurang maksimalnya potensi tersebut, karena adanya isu-isu yang sering muncul di masyarakat dan dengan mudahnya mampu memobilisasi masyarakat.
Isu-isu ini yang kemudian berdampak pada beberapa sektor, termasuk perdagangan dan ekspor negara. Oleh sebab itu, salah satu upaya mengurangi pengaruh ini yakni melalui kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, khususnya Jatim.
“Salah satu yang bisa kami (Disperindag Provinsi Jawa Timur, red) lakukan adalah melakukan sosialisasi kepada para mahasiswa seperti ini,” kata perempuan kelahiran Tabanan, Bali ini.
Desak mengungkapkan, mengulas masalah komoditi ekspor terbesar yang dimiliki Jawa Timur, komoditi nonminyak dan gas (migas) lah yang berada di posisi teratas.
“Permata adalah komoditi terbesar Jawa Timur secara nasional. Selain itu juga ada kayu, tembaga, lemak hewan atau nabati, ikan dan udang, serta masih banyak lagi,” katanya.
Dalam upaya peningkatan jumlah ekspor Jatim itu, terdapat beberapa kendala mendasar yang menjadi tantangan bersama.
Secara eksternal, ia menyebut, biaya logistik yang tinggi serta adanya prosedur birokrasi yang menimbulkan biaya tambahan, menyebabkan pelaku usaha kesulitan dalam melakukan kegiatan ekspor. Selain itu, kondisi perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok saat ini pun turut berpengaruh besar terhadap ekspor Jatim.
“Kalau secara internal, pelaku usaha masih banyak yang ragu dengan pangsa internasional, ada juga yang masih terkendala modal usaha,” terangnya.
Kendati demikian, lanjut dia, tantangan ini tentunya memerlukan upaya-upaya khusus. Salah satunya melalui sinergi antara pemerintah, akademisi dan pelaku bisnis. Sinergi ini diperlukan guna membuat kebijakan-kebijakan bersama yang berguna dalam peningkatan nilai ekspor.
Selain itu, tim khusus bernama Tim Fasilitasi Percepatan Pengembangan Kawasan Industri (TFP2KI) yang dibentuk oleh Pemprov Jawa Timur turut menjadi salah satu cara.
“Tujuan utama tim ini adalah terwujudnya eksistensi, sinkronisasi dan koordinasi kelembagaan agar dapat menjalankan tugas masing-masing secara efektif,” paparnya.